Ibukota dari Sumatera Barat ini cukup menarik untuk dikunjungi. 5 Desember 2019 perjalanan menuju wisata kuliner dimulai, dengan sekali transit pesawat yang membawa saya dari Ahmad Yani Semarang menuju Minangkabau International Airport ditempuh dengan 5 jam perjalanan. Sesampainya bandara ini, saya dan tim yang hanya dua orang memilih menggunakan angkutan umum Damri, dengan harga tiket Rp 3.500,- per penumpang, perjalanan darat 1 jam ke daerah Bundo Kanduang pusat kota Padang. Akses menuju kota ada banyak alternatif, bisa menggunakan taksi, taksi konvensional (agak susah), bahkan kereta. Sayangnya kereta hanya sampai dengan stasiun akhir yang jaraknya masih di pinggiran kota, sehingga kalau memilih menggunakan kereta harus menyambung perjalanan lagi dengan angkot atau taksi. Sehingga kami memilih menggunakan bis Damri. Namun ada hal yang patut disayangkan kembali karena kondisi bis Damri yang kurang bersih dan kotor, mungkin hal ini pula yang menyebabkan bis ini sepi peminat.
 |
Kondisi Bis Damri Padang |
 |
Hotel Bermalam kami |
Kebetulan kami menginap di hotel BUMN, Grand Ina Padang, jadi pelayanan hotel yang tersedia cukup memuaskan, dengan fasilitas yang ciamik. Karena kedatangan kami berdua yang bisa dibilang cukup gasik, akhirnya kami sempatkan kulineran sebentar di luar. Tujuan kami adalah rumah makan "Lamun Ombak". Salah satu rumah makan khas Padang yang cukup populer yang menyediakan berbagai masakan khas kota Padang. Benar saja, sewaktu kami sampai sana rumah makan ini sudah penuh oleh puluhan pengunjung, apalagi memasuki waktu makan siang. Saya pun penasaran dengan masakan padang yang khas dari kotanya. Begitu duduk, kami langsung disuguhi teh anget tawar dan berbagai pilihan menu, namun saya memilih makanan yang saya pasti doyan saja, saya memilih dendeng namun waktu itu dendengnya habis dan lagi masak ronde kedua, gak keburu kalau saya menunggu dendengnya, akhirnya saya pesan rendang, dan ayam pop (karena penasaran).
 |
Rumah Makan terkenal di Padang |
 |
Rendang dan Ayam Pop |
 |
Menu makanan |
Rasa rendang di tanah Minang ini sungguh luar biasa, rasanya rendang terenak yang pernah saya makan. Dalam diri rendangnya ini ada sensasi pedas dan manis, dengan bumbu yang light banget dan meresap sempurna. Selanjutnya ayam pop, selama ini saya tidak pernah makan ayam yang tampilannya masih putih, tapi begitu saya menggigitnya, bumbunya benar-benar meresap sempurna salam daging ayam. Sungguh rasa makanan yang luar biasa. Hal yang paling menyenangkan lagi adalah, harga makanan disini yang murah meriah, dengan bungkusan ikan seporsi, kami hanya habis 53 ribu. Murah sekali, ini berbeda dengan harga makanan padang di Jawa.
Selepas dari makan siang, kami sempatkan diri mampir di Masjid kota Padang yang ikonik, dan merasakan bagaimana rasanya jamaah di kota Padang. Masuk area masjid agak membingungkan bagi kami yang awam, karena di lantai satu kok sepi, ternyata area parkir ada di belakang masjid dan langsung berhadapan dengan tangga menuju lantai 2 tempat jamaah menunaikan sholat. Tapi, sebelum kami jamaah dikarenakan belum juga masuk waktu Ashar, ya kami foto dulu dong.
 |
Masjid Raya Sumatera Barat |
 |
Kondisi dalam Masjid |
Sorenya sampai malam kami menunaikan kewajiban kami di hotel, kerja.
Hari kedua, kami fokus di acara sampai dengan siang hari, berusaha secepat mungkin menyelesaikan tugas agar bisa segera jalan-jalan lagi. Namun sebelumnya, pagi harinya saya bersepeda keliling pantainya kota Padang, hahaha... Setelah sholat Subuh saya turun ke lobi dan bertransaksi meminjam sepeda dengan hanya Rp 50.000,- per 2 jam. 2 jam jalan-jalan ditambah mampir di pinggiran pantai cukup banget kan waktunya. Saya menyusuri sepanjang jalan di pinggir pantai Padang. Kurang lebih 5 km saya menggenjot sepeda, melewati Pantai Padang, Pantai Puruih Padang, taman kota Padang , dan Tugu Merpati Perdamaian Padang.
 |
Tugu Merpati Perdamaian |
Saya terus menggenjot sepeda menuju pusat kota karena penasaran dengan Soto Garuda yang terkenal di Padang, sayangnya ternyata kalau hari Jumat soto tutup, akhirnya saya kembali lagi dan menggantinya dengan masakan ketupat sayur padang. Warung-warung di pinggir pantai yang saya lewati tadi cukup menarik perhatian saya karena banyak pula warga yang mampir kesana. Setelah gagal soto Garuda, saya pun mengalihkan pandangan ke ketupat sayur Mak Dang. Cukup ramai pengunjung yang datang pagi itu, bukan hanya soto saja yang disuguhkan ada pula bubur kacang ijo, dan susu telur. Benar-benar menyediakan sarapan pagi dalam segala menu.
 |
Ketupat Gulai Paku |
 |
makan dgn pemandangan pantai |
Bagaimana dengan rasanya? untuk ukuran orang yang pertama kali makan ketupat gulai paku, saya doyan sekali, dan habis. Rasa bumbu santannya benar-benar cocok dengan lidah saya, ditambah dengan sala lauak (gorengan yang berbentuk bulat kecil dengan sedikit rasa ikan) rasanya benar-benar mengagumkan di mulut saya. Loh kan ikan, kok doyan, karena kandungan ikannya yang kecil jadi saya doyan, haha. Bagaimana dengan harga? pasti murah banget deh, seporsi ketupat dengan beberapa gorengan dan teh anget manis, ditambah bungkus 1 porsi ketupat dengan gorengan, hanya habis Rp 20.000,-
Alhamdulillah dengan kecepatan knot yang kami miliki, siang hari setelah Jumatan tugas pun selesai. Lalu kemana kita? Berburu oleh-oleh. Lokasi hotel yang strategis ditengah kota atau di depan museum Adityawarman, kemana mana jadi dekat rasanya. Sebelah hotel ada toko oleh-oleh Sherly, kalau kalian googling terkait dengan pusat oleh-oleh maka akan muncul beberapa alternatif pilihan, Kripik Balado Sherly, Kripik Balado Christin Hakim, Kripik Balado Ummi Aufa Hakim. Saya sempat melihat kedalam Sherly yang berlokasi disebelah hotel, agak sepi namun banyak pelayan yang siap mendampingi pembeli. Lalu kami berjalan kaki sekitar 1 km ke Keripik Balado Crhristin Hakim yang lokasinya ada di belakang hotel dengan agak berputar sedikit. Berbeda dengan toko yang pertama, di toko ini ada beberapa pembeli dan sepertinya sedikit lebih komplit untuk pilihan oleh-olehnya.
 |
Christin Hakim |
 |
Sudut Dendeng |
Bagaimana untuk harga diantara keduanya? Mahalan toko yang kedua, selisih sedikit kok, tapi kalau belinya banyak yang cukup kerasa ya.
Menjelang sore hari, kami memutuskan untuk berjalan-jalan ke pantai Batu Malin Kundang. Kami memesan ojek online biar bisa menikmati pemandangan sekitar. Mostly selama di Padang kami memilih ojek online untuk muter daerah Padang. Lokasinya sebenarnya tidak jauh dari hotel, hanya karena kondisi jalan menuju kesana yang melewati bukit dan masuk pedesaan, jadi sepertinya jauh, padahal cukup 20 menit perjalanan. Agak berbeda jauh memang antara pusat kota dengan daerah perbukitan ini, padahal jaraknya dekat sekali, begitu masuk jalan yang menanjak, daerah menjadi sepi dan hanya ada rumah warga yang sederhana. Masuk ke lokasi, membayar karcis Rp 5.000,- dan beruntungnya gojek kami menawari untuk menunnggu kami di pantai, karena memang lokasi ini cukup berbeda dengan lokasi kota, susah mendapatkan ojek online disini.
 |
tak maafkan nak |
Foto dengan batu malin kundang. Warna hitam pada batu adalah semen, sementara yang kuning adalah batu asli malin kundang. Batu ini sudah dilapisi agar bentuknya tetap terjaga, apalagi banyak pula tangan jahil yang berusaha mengambil secuil batu untuk kepentingan "klenik".
Untuk kapal malin kundang hanya tersisa sendimennya saja, bentuk yang menyerupai kapal atau sudah tidak bentuk utuh kapal lagi. Sayangnya pada saat saya datang, lokasi pantai Air Manis atau yang lebih di kenal dengan pantai Malin Kundang ini sedang dalam proses pembangunan, jadi banyak kendaraan proyek dan berbagai beton di pantai. Mungkin saat 5 tahun lagi saya kembali kesini, lokasinya sudah pasti menakjubkan.
Tak perlu berlama-lama bagi kami, tidak sampai setengah jam kami pun mencari destinasi lain. Masih penasaran dengan rasa soto padang.
 |
Soto Padang |
Masih belum mau move on dari Soto Garuda, minta dianter kesana lagi sama babang gojek, daannn tutup, ngeyel banget sih jadi orang. Akhirnya kami diantar ke lokasi soto padang yang tidak jauh dari hotel, Soto Simpang Karya. Untuk rasa soto padang, paduan kuah bening, dan daging yang sudah kering lalu diguyur dengan kuah beningnya, rasanya pas sekali.
Makan makanan padang, selalu ada taburan krupuk di atas nasinya. Rendang, Gulai Ketupat, dan Soto Padang, semua ada taburan kerupuknya, mungkin ini ciri khas dari masakan padang. Menurut info dari penjualnya, lauk pendamping yang pas adalah keripik paru. Namun, karena saya enggak makan yang jeroan jeroan begitu, ya cukup dengan ekstra kerupuk sajalah ya. Harga soto Padang ini dibanderol Rp 22.000,- per porsi.
Setelah menikmati bening dan segarnya soto padang, kami jalan kaki sekitar 550m menuju hotel kami.
Hari ke tiga di Padang, kami berdua merencanakan perjalanan ke Bukittinggi. Kami menyewa mobil dari Grand Ina seharga Rp 700.000,- sudah bersih untuk sopir dan bensin, ya tapi kalau kami makan ya driver juga kami ajak sekalian ya. Perjalanan ke Bukittinggi ternyata cukup panjang, kondisi jalan normal biasanya ditempuh dengan waktu 4 jam perjalanan. Jam 7 pagi kami sudah memulai perjalanan ini, biar kami bisa muter sampai kelok 44 untuk perjalanan pulangnya. Dalam perjalanan yang kurang lebih baru 1/4 perjalanan, kami menemukan air terjun yang cantik dipinggir jalan, namanya Air Terjun Lembah Anai.
 |
Air terjun Lembah Anai |
Setelah dari sini, kami melanjutkan perjalanan lagi sampai sekitar 9 lebih 10 menit kami sampai di rumah makan Mak Syukur. Sebuah rumah makan sate padang yang terkenal di seantero Padang bahkan Sumatera Barat sepertinya. Sepagi ini, itu parkiran mobil sudah penuh, dan di dalam rumah makan semua bangku sudah terisi penuh, satenya harus enak ini, begitu pikir saya melihat jumlah pengunjung yang sudah sesak sepagi ini.
 |
Sate Padang Mak Syukur |
Rasa sate padang yang satu ini enak sekali, kuah bumbu kuningnya beda dengan yang lain. Selain itu dagignya yang garing tapi lembut, memberikan rasa dilidah yang istimewa, selain itu potongan daging yang besar juga memberikan rasa kenyang diperut. Terbayar lah waktu tunggu dan antrian yang lama disini. Harganya untuk makan 3 orang beseta minum dan krupuk habis Rp 111.000,- masih cukup terjangkau.
Menyebrang jalan dari Sate Mak Syukur, kami menuju museum Rumah Gadang. Saat masuk dalam rumah Gadang, kami disambut oleh pemandu yang menceritakan sejarah dan silsilah Rumah Gadang ini yang ternyata punya banyak makna
 |
Rumah Gadang |
Masih belum sampai di Bukittinggi, perjalanan masih dilanjutkan sampai sekitar pukul setengah 12 barulah kami sampai di sana. Mencari are parkir di Bukittinggi bukanlah hal mudah, harus muter - muter sampai dua kali baru bisa dapat parkir di sekitar lokasi Pasar Ateh. Selanjutnya kami berjalan menuju Jam Gadang, sesuatu yang simbolik dari Bukittinggi.
 |
Model Jam Gadang |
Bukittinggi benar-benar dingin, suhu disini sangat dingin, apalagi dengan cuaca yang agak mendung, dengan kabut tipis tipis membuat kulit semakin membeku. Di lokasi Jam Gadang kami gak sampai setengah jam, karena dinginnya bikin linu. Cukup foto bercekrek-cekrek, malah seperti model dengan adek yang habis pulang sekolah lagi jalan berlawanan arah,, kok pas ya.
Lokasi Jam Gadang berdekatan dengan Pasar Ateh yang terkenal dengan mukena mukenanya yang murah, tapi berhubung kami sadar budget, kami hanya masuk ke lokasi pasar membeli kaso beberapa gelintir dan aksesori hijab dengan simbol jam gadang. Tapi bagi para pengungjung yang memiliki budget lebih, cobalah untuk membeli mukena khas sini, karena menurut info dari driver kualitas mukena sini berbeda dari yang lain, selain itu harganya bervariasi dari ratusan sampai dengan jutaan.
Masih di Bukittinggi kami menuju ke Goa Jepang. Sebuah Goa yang dibangun pada masa pendudukan Jepang dan digunakan sebagai pertahanan dimana sekarang lokasi ini difungsikan sebagai obyek wisata yang cukup populer di Bukittinggi. Awalnya kami masuk hanya berdua, namun persis di depan pintu masuk Goa, ada pemandu swasta yang menawarkan diri memandu kami dengan memberikan gambar bahwa di dalam lokasi Goa tidak terdapat petunjuk arah, agak mikir sih apa iya.. Tapi ya sudahlah, toh hanya Rp 80.000,-. Tapi setelah masuk sesungguhnya ada kok petunjuk lagian di dalam juga ada pengunjung lain. Berdasarkan cerita dari sang pemandu, terjadi berbagai peristiwa kelam penyiksaan oleh Jepang pada penduduk pribumi, dimana ada lokasi di dalam Goa yang dinamakan dapur namun difungsikan sebagai tempat eksekusi kaum pribumi yang diaanggap bersalah. Melalui sebuah lubang sempit, tawanan yang sudah meninggal dibuang kesana dimana ternyata lubang dalam Goa tersebut mengarah langsung ke Ngarai Sianok.

 |
Ngarai Sianok |
Setelah menempuh perjalanan panjang dan keluar masuk wisata, kami memutuskan untuk mencari makanan khas Bukittinggi yaitu Itiak Lado Ijo. Tenyata ini adalah bebek sambal ijo, hihi sebenarnya dari namanya saja sudah ketauan ya ini masakan apa. Karena saya bukan pecinta makanan pedas, jadi ini kurang cocok dilidah saya, terlalu pedas.
Seporsi itiak lado ijo sepertinya kisaran 30an ribu rupiah,karena kami memesan 2 porsi dan minum habis 70an ribu. Warung ini cukup ramai pengunjung, dengan lokasi berada di belakang Goa Jepang.
Selanjutnya kami melanjutkan wisata menuju Danau maninjau. Lokasinya ditempuh sekitar 1 jam perjalanan dari Goa Jepang. Dengan perjalanan yang melewati daerah pegunungan tentunya. Begitu tiba di lokasi, tepatnya kami di lokasi Bukit Pandang Danau Maninjau, atau dari posisi bukit biar terlihat luasnya Danau Maninjau dari atas.
 |
Danau Manijau |
Danau Maninjau agak sepi pengunjung entah karena sudah terlalu sore atau para wisatawan lebih memilih Danau Singkarak. Tidak berlama-lama kami di sini mengingat perjalanan kami masih panjang dan berliku karena kami sengaja pulang melewati Kelok 44.
Kelok 44 adalah jalan perbukitan dari Maninjau yang sudah masuk Kabupaten Agam. Jalanan menurun sebanyak 44 kelokan dari bukit ini menuju lembah Danau Maninjau. Benar saja, setiap kelokan terdapat tulisan kelok 44 sampai dengan kelok 1 yang ada dibagian bawah sendiri. Sayang sekali kami tidak dapat berfoto karena memikirkan keselamatan pengendara lainnya juga, apalagi jalanan di kelok ini cukup sempit.
Kondisi jalan yang macet ditambah guyuran hujan yang cukup lebat waktu kami sampai di Padang Pariaman, membuat jalanan macet dan membuat kami baru sampai di Hotel pukul 9 malam, benar-benar perjalanan yang melelahkan. Namun pada waktu kami sampai di Padang Pariaman beberapa menit sebelum kemacetan melanda, kami sempat membeli makanan khas Padang Sala Lauak yang banyak dijual dipinggir jalan sepanjang pantai. Tidak puas hanya membeli Sala Lauak, sampainya di Kota Padang kami juga masih mampir di Pusat Oleh Oleh Keripik balado 4 x 6. Luar biasa bukan
 |
Hasil Laut Goreng |
Hari ke empat perjalanan kami pulang ke Semarang.. Alhamdulillah untuk perjalanan kali ini, semoga dipertemukan lagi dengan Padang dengan cita rasa kulinernya yang nikmat
 |
Minangkabau International Airport |