A. Pendahuluan
Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN) merupakan alat utama pemerintah untuk mensejahterakan
rakyatnya dan sekaligus alat pemerintah untuk mengelola perekonomian negara.
Sebagai alat pemerintah, APBN bukan hanya menyangkut keputusan ekonomi, namun
juga menyangkut keputusan politik. Dalam konteks ini, DPR dengan hak legislasi,
penganggaran, dan pengawasan yang dimilikinya perlu lebih berperan dalam
mengawal APBN sehingga APBN benar-benar dapat secara efektif menjadi instrumen
untuk mensejahterakan rakyat dan mengelola perekonomian negara dengan baik.
B. Pengertian
Definisi keuangan negara
adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta
segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik
Negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Dalam penjelasan
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dinyatakan bahwa
pendekatan yang digunakan dalam merumuskan Keuangan Negara adalah dari sisi
objek, subjek, proses, dan tujuan. Dari sisi objek, yang dimaksud dengan
Keuangan Negara meliputi semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai
dengan uang, termasuk kebijakan dan kegiatan dalam bidang fiskal, moneter dan
pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan, serta segala sesuatu baik berupa
uang, maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan
pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.
Berdasarkan uraian di atas,
pengertian keuangan negara dapat dibedakan antara: pengertian keuangan negara
dalam arti luas, dan pengertian keuangan negara dalam arti sempit. Pengertian keuangan
negara dalam arti luas pendekatannya adalah dari sisi objek yang cakupannya
sangat luas, dimana keuangan negara mencakup kebijakan dan kegiatan dalam
bidang fiskal, moneter dan pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan.
Sedangkan pengertian keuangan negara dalam arti sempit hanya mencakup
pengelolaan keuangan negara subbidang pengelolaan fiskal saja.
Dari sisi subjek, yang
dimaksud dengan Keuangan Negara meliputi seluruh subjek yang memiliki/menguasai
objek sebagaimana tersebut di atas, yaitu: pemerintah pusat, pemerintah daerah,
perusahaan negara/daerah, dan badan lain yang ada kaitannya dengan keuangan
negara.
Dari sisi proses, Keuangan Negara mencakup seluruh
rangkaian kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan objek sebagaimana tersebut
di atas mulai dari perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan sampai dengan
pertanggunggjawaban.
Dari sisi tujuan, Keuangan
Negara meliputi seluruh kebijakan, kegiatan dan hubungan hukum yang berkaitan
dengan pemilikan dan/atau penguasaan objek sebagaimana tersebut di atas dalam
rangka penyelenggaraan pemerintahan negara.
C. Azas-Azas Pengelolaan Keuangan Negara
Dalam rangka mendukung
terwujudnya good governance dalam penyelenggaraan negara, pengelolaan keuangan
negara perlu diselenggarakan secara profesional, terbuka, dan bertanggung jawab
sesuai dengan aturan pokok yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar
1945. Aturan pokok Keuangan Negara telah dijabarkan ke dalam azas-azas umum,
yang meliputi baik azas-azas yang telah lama dikenal dalam pengelolaan keuangan
negara, seperti azas tahunan, azas universalitas, azas kesatuan, dan aas
spesialitas maupun azas-azas baru sebagai pencerminan penerapan kaidah-kaidah
yang baik (best practices) dalam pengelolaan keuangan negara. Penjelasan dari
masing-masing azas tersebut adalah sebagai berikut:
- Azas Tahunan, memberikan
persyaratan bahwa anggaran Negara dibuat secara tahunan yang harus
mendapat persetujuan dari badan legislatif (DPR).
- Azas Universalitas
(kelengkapan), memberikan batasan bahwa tidak diperkenankan terjadinya
percampuran antara penerimaan negara dengan pengeluaran negara.
- Azas Kesatuan,
mempertahankan hak budget dari dewan secara lengkap, berarti semua
pengeluaran harus tercantum dalam anggaran. Oleh karena itu, anggaran
merupakan anggaran bruto, dimana yang dibukukan dalam anggaran adalah
jumlah brutonya.
- Azas Spesialitas
mensyaratkan bahwa jenis pengeluaran dimuat dalam mata anggaran
tertentu/tersendiri dan diselenggarakan secara konsisten baik secara
kualitatif maupun kuantitatif. Secara kuantitatif artinya jumlah yang
telah ditetapkan dalam mata anggaran tertentu merupakan batas tertinggi
dan tidak boleh dilampaui. Secara kualitatif berarti penggunaan anggaran
hanya dibenarkan untuk mata anggaran yang telah ditentukan.
- Azas Akuntabilitas
berorientasi pada hasil, mengandung makna bahwa setiap pengguna anggaran
wajib menjawab dan menerangkan kinerja organisasi atas keberhasilan atau
kegagalan suatu program yang menjadi tanggung jawabnya.
- Azas Profesionalitas
mengharuskan pengelolaan keuangan negara ditangani oleh tenaga yang
profesional.
- Azas Proporsionalitas;
pengalokasian anggaran dilaksanakan secara proporsional pada fungsi-fungsi
kementerian/lembaga sesuai dengan tingkat prioritas dan tujuan yang ingin
dicapai.
- Azas Keterbukaan dalam
pengelolaan keuangan negara, mewajibkan adanya keterbukaan dalam
pembahasan, penetapan, dan perhitungan anggaran serta atas hasil
pengawasan oleh lembaga audit yang independen.
9.
Azas Pemeriksaan Keuangan oleh badan pemeriksa yang bebas
dan mandiri, memberi kewenangan lebih besar pada Badan Pemeriksa Keuangan untuk
melaksanakan pemeriksaan atas pengelolaan keuangan negara secara objektif dan
independen.
Azas-azas umum tersebut
diperlukan pula guna menjamin terselenggaranya prinsip-prinsip pemerintahan
daerah. Dengan dianutnya azas-azas umum tersebut di dalam undang-undang tentang
Keuangan Negara, pelaksanaan undang-undang ini selain menjadi acuan dalam
reformasi manajemen keuangan negara, sekaligus dimaksudkan untuk memperkokoh
landasan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah di Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
D. Kekuasaan atas Keuangan Negara
Pada dasarnya Presiden selaku
Kepala Pemerintahan memegang kekuasaan atas pengelolaan keuangan negara sebagai
bagian dari kekuasaan pemerintahan. Sebagian kekuasaan itu diserahkan kepada
Menteri Keuangan yang kemudian berperan sebagai pengelola fiskal dan wakil
pemerintah dalam kepemilikan negara dalam kekayaan negara yang dipisahkan.
Sebagian kekuasaan lainnya diberikan kepada Menteri/Pimpinan lembaga sebagai
Pengguna Anggaran/Pengguna Barang lembaga/kementrian yang dipimpinnya.
Jika Presiden memiliki fungsi
sebagai Chief Executive Officer (CEO)
maka Menteri Keuangan berperan dan berfungsi sebagai Chief Financial Officer (CFO) sedangkan menteri/pimpinan lembaga
berperan sebagai Chief Operating Officers
(COO). Pemisahan fungsi seperti di atas dimaksudkan untuk membuat kejelasan dan
kepastian dalam pembagian wewenang dan tanggung jawab. Sebelumnya fungsi-fungsi
tersebut belum terbagi secara tegas sehingga seringkali terjadi tumpang tindih
antar lembaga. Pemisahan ini juga dilakukan untuk menegaskan terlaksananya
mekanisme checks and balances. Selain
itu, dengan fokusnya fungsi masing-masing kementerian atau lembaga diharapkan
dapat meningkatkan profesionalisme di dalam penyelenggaraan tugas-tugas
pemerintah.
Menteri Keuangan dengan
penegasan fungsi sebagai CFO akan memiliki fungsi-fungsi antara lain: Pengelolaan
kebijakan fiskal; Penganggaran; Administrasi Perpajakan; Administrasi
Kepabeanan; Perbendaharaan (Treasury);
dan Pengawasan Keuangan. Seperti halnya pemerintah pusat, pengelolaan keuangan
daerah juga menggunakan pendekatan pembagian fungsi yang tidak berbeda.
Gubernur/Bupati/Walikota akan memiliki fungsi sebagai pemegang kekuasaan
pengelolaan Keuangan Daerah atau CEO, dinas-dinas sebagai COO, dan pengelola
Keuangan Daerah sebagai CFO.
E. Ruang Lingkup
Berdasarkan pengertian
keuangan negara dengan pendekatan objek, terlihat bahwa hak dan kewajiban
negara yang dapat dinilai dengan uang diperluas cakupannya, yaitu termasuk
kebijakan dan kegiatan dalam bidang fiskal, moneter dan pengelolaan kekayaan
negara yang dipisahkan.
Dengan demikian, bidang
pengelolaan keuangan negara dapat dikelompokkan dalam:
1.
Sub bidang pengelolaan fiskal,
2.
Sub bidang pengelolaan moneter,
dan
3.
Sub bidang pengelolaan kekayaan
negara yang dipisahkan.
1.
Fungsi pengelolaan kebijakan ekonomi makro dan fiskal.
Fungsi pengelolaan kebijakan ekonomi makro dan fiskal ini meliputi
penyusunan Nota Keuangan dan RAPBN,
serta perkembangan dan perubahannya, analisis kebijakan, evaluasi dan perkiraan
perkembangan ekonomi makro, pendapatan negara, belanja negara, pembiayaan,
analisis kebijakan, evaluasi dan perkiraan perkembangan fiskal dalam rangka
kerjasama internasional dan regional, penyusunan rencana pendapatan negara,
hibah, belanja negara dan pembiayaan jangka menengah, penyusunan statistik,
penelitian dan rekomendasi kebijakan di bidang fiskal, keuangan, dan ekonomi.
2.
Fungsi penganggaran. Fungsi ini meliputi penyiapan,
perumusan, dan pelaksanaan kebijakan, serta perumusan standar, norma, pedoman,
kriteria, prosedur dan pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang APBN.
3.
Fungsi administrasi perpajakan.
4.
Fungsi administrasi kepabeanan.
5.
Fungsi perbendaharaan. Fungsi perbendaharaan meliputi
perumusan kebijakan, standard, sistem dan prosedur di bidang pelaksanaan
penerimaan dan pengeluaran negara, pengadaan barang dan jasa instansi
pemerintah serta akuntansi pemerintah pusat dan daerah, pelaksanaan penerimaan
dan pengeluaran negara, pengelolaan kas negara dan perencanaan penerimaan dan
pengeluaran, pengelolaan utang dalam negeri dan luar negeri, pengelolaan
piutang, pengelolaan barang milik/kekayaan negara (BM/KN), penyelenggaraan
akuntansi, pelaporan keuangan dan sistem informasi manajemen keuangan pemerintah.
6.
Fungsi pengawasan keuangan.
Pengelolaan keuangan negara sub bidang
pengelolaan moneter berkaitan dengan kebijakan dan pelaksanaan kegiatan sektor
perbankan dan lalu lintas moneter baik dalam maupun luar negeri meliputi sistem
pembayaran, sistem lalu lintas devisa, dan sistem nilai tukar.
Pengelolaan keuangan negara
sub bidang kekayaan Negara yang dipisahkan berkaitan dengan kebijakan dan
pelaksanaan kegiatan di sektor Badan Usaha Milik Negara/Daerah (BUMN/BUMD) yang
orientasinya mencari keuntungan (profit motive).
Ruang lingkup keuangan negara
meliputi:
1.
hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan
mengedarkan uang, dan melakukan pinjaman;
2.
kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan
umum pemerintahan negara dan membayar tagihan pihak ketiga;
3.
penerimaan negara;
4.
pengeluaran negara;
5.
penerimaan daerah;
6.
pengeluaran daerah;
7.
kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri
atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta
hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan
pada perusahaan negara/perusahaan daerah;
8.
kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam
rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan dan/atau kepentingan umum;
9.
kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan
fasilitas yang diberikan pemerintah; dan
10.
kekayaan pihak lain sebagaimana dimaksud meliputi
kekayaan yang dikelola oleh orang atau badan lain berdasarkan kebijakan
pemerintah, yayasan-yayasan di lingkungan kementerian negara/lembaga, atau
perusahaan negara/daerah.
F. Dasar Hukum
1. UU No. 22 tahun 1999
yang telah diubah menjadi
UU No. 32 tahun 2004
Pada prinsipnya UU No. 22 tahun 1999 ini mengatur
penyelenggaraan pemerintahan daerah yang lebih mengutamakan desentralisasi.
Pokok pikiran dalam penyusunan UU No. 22 tahun
1999 adalah sebagai berikut:
a. Sistem
ketatanegaraan Indonesia wajib menjalankan prinsip pembagian kewenangan
berdasarkan asas desentralisasi dalam kerangka NKRI.
b. Daerah
yang dibentuk berdasarkan asas desentralisasi dan dekonsentrasi adalah daerah
provinsi sedangkan daerah yang dibentuk berdasarkan asas desentralisasi adalah
daerah kabupaten dan daerah kota.
c.
Daerah di luar provinsi dibagi dalam daerah
otonomi.
d. Kecamatan
merupakan perangkat daerah kabupaten.
Secara umum, UU No. 22 tahun
1999 banyak membawa kemajuan bagi daerah dan peningkatan kesejahteraan
masyarakat. Tetapi sesuai perkembangan keinginan masyarakat daerah, ternyata UU
ini juga dirasakan belum memenuhi rasa keadilan dan kesejahteraan bagi
masyarakat. Sehingga pada tanggal 15 Oktober disahkan UU No. 32 tahun 2004
tentang pemerintah Daerah yang dalam pasal 239 dengan tegas menyatakan bahwa
dengan berlakunya UU ini, UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
dinyatakan tidak berlaku lagi. UU baru ini memperjelas dan mempertegas hubungan
hierarki antara kabupaten dan provinsi, antara provinsi dan pemerintah pusat
berdasarkan asas kesatuan administrasi dan kesatuan wilayah. Pemerintah pusat
berhak melakukan kordinasi, supervisi, dan evaluasi terhadap pemerintahan di
bawahnya, demikian juga provinsi terhadap kabupaten/kota. Di samping itu,
hubungan kemitraan dan sejajar antara kepala daerah dan DPRD semakin dipertegas
dan diperjelas.
2. UU No. 25 tahun 1999 yang telah diubah menjadi UU No. 33 tahun 2004
UU No. 25 tahun 1999 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah. Penyelenggaraan tugas daerah dalam pelaksanaan desentralisasi dibiayai atas beban APBD. Penyelenggaraan tugas pemerintah pusat yang dilaksanakan oleh perangkat daerah propinsi dalam rangka pelaksanaan dekonstrasi dibiayai atas beban APBN. Penyelenggaraan tuga pemerintah pusat yang dilaksanakan oleh perangkat daerah dan desa dalam rangka tugas pembantuan dibiayai atas beban APBN. Penyerahan atau pelimpahan kewenangan pemerintah pusat kepada gubernur atau penyerahan kewenangan atau penugasan pemerintah pusat kepada bupati/walikota diikuti dengan pembiayaannya. Sumber-sumber penerimaan daerah dalam pelaksanaan desentralisasi adalah pendapatan asli daerah, dana perimbangan, pinjaman daerah, lain-lain penerimaan yang sah.
3. UU No. 17 tahun 2003
UU No. 17 tahun
2003, ruang lingkup keuangan negara meliputi: pengelolaan moneter, pengelolaan fiskal, Pengelolaan Kekayaan Negara. Pemerintah
menyadari bahwa pengelolaan keuangan negara yang dilaksanakan sampai saat ini
perlu diadakan penyempurnaan terutama dalam mengatasi
kelemahan seperti kurangnya keterkaitan antara perencanaan nasional,
penganggaran, dan pelaksanaannya, kemudian kelemahan dalam pelaksanaan
pengganggaran yang menggunakan line-item budget (penyusunan anggaran
yang didasarkan kepada dan dari mana dana berasal/pos-pos penerimaan dan untuk
apa dana tersebut digunakan/pos-pos pengeluaran), aspek perubahan anggaran yang
lebih bersifat perubahan pada sejumlah dana tertentu yang ditambahkan secara incremental
atas anggaran sebelumnya, adanya pemisahan anggaran pembangunan dan
anggaran rutin, serta klasifikasi anggaran yang belum terbagi berdasarkan
fungsi. Untuk itu dalam UU No. 17 tahun 2003
tentang Keuangan Negara, terdapat berbagai perubahan mendasar dalam tiga hal
yang meliputi:
a. Pendekatan penganggaran dengan perspektif jangka menengah (Medium
Term Expenditure Framework)
KPJM merupakan pendekatan penganggaran
berdasarkan kebijakan yang dilakukan dalam perspektif waktu lebih dari satu
tahun anggaran dengan mempertimbangkan implikasi biaya pada tahun berikutnya
yang dinyatakan sebagai prakiraan maju (forward estimate). Sedangkan
prakiraan maju merupakan perhitungan kebutuhan dana untuk tahun anggaran
berikutnya dari tahun anggaran yang direncanakan guna memastikan kesinambungan
program dan kegiatan yang telah disetujui dan menjadi dasar penyusunan anggaran
berikutnya.
b. Penerapan penganggaran secara terpadu (Unified Budget)
Pendekatan penganggaran terpadu
merupakan pendekatan penganggaran yang mengintegrasikan seluruh proses
perencanaan dan penganggaran ke dalam satu proses. Sebelumnya, penganggaran
untuk belanja rutin dan pembangunan dilakukan secara terpisah dengan menggunakan
dua dokumen yang terpisah pula yaitu DIP dan DIK. Melalui pendekatan anggaran
terpadu, proses perencanaan dan penganggaran serta dokumen penganggarannya
telah disatukan. Selain itu, klasifikasi belanja rutin dan pembangunan telah
ditiadakan dan dilebur menjadi belanja pemerintah pusat.
c.
Penerapan penganggaran berdasarkan
kinerja (Performance Budget)
Anggaran Berbasis Kinerja (performance
based budgeting) adalah model pendekatan penganggaran yang memperhatikan
keterkaitan antara pendanaan (input) dengan keluaran dalam bentuk output
dan outcome yang diharapkan termasuk efisiensi dalam pencapaian
hasil dan keluaran tersebut. Input (masukan) adalah besaran
sumber-sumber daya dalam bentuk: dana, SDM, material/bahan, waktu dan teknologi
yang digunakan untuk melaksanakan program atau kegiatan. Output (keluaran)
menunjukkan produk (berupa barang atau jasa) yang dihasilkan dari program atau
kegiatan sesuai dengan input yang digunakan. Sedangkan outcomes (hasil)
menunjukkan berfungsinya output.
4. UU No. 1 tahun 2004
Pada tangal 14
Januari 2004, telah disahkan UU No. 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara
yang merupakan ketentuan pelaksanaan sebagai tindak lanjut atas disahkannya UU
No. 17 Tahun 2003. Menurut UU No. 1 tahun 2004 tersebut, yang dimaksud dengan
Perbendaharaan Negara adalah pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara,
termasuk investasi dan kekayaan yang dipisahkan, yang ditetapkan dalam APBN dan
APBD.
Seiring dengan
konsepsi di atas, pelaksanaan anggaran dilakukan melalui pembagian tugas antara
Menteri Keuangan selaku pemegang kewenangan kebendaharaan dengan menteri
negara/lembaga selaku pemegang kewenangan adminitratif. Dalam Penjelasan Umum UU
No. 1 tahun 2004 dijelaskan bahwa kewenangan administratif yang dimiliki
menteri negara/lembaga mencakup kewenangan untuk melakukan perikatan atau
tindakan lain yang mengakibatkan terjadinya penerimaan atau
pengeluaran negara, kewenangan melakukan pengujian dan pembebanan tagihan yang
diajukan kepada menteri negara/lembaga sehubungan dengan realisasi perikatan
tersebut, serta memerintahkan pembayaran atau menagih penerimaan yang timbul
sebagai akibat pelaksanaan anggaran. Sedangkan dalam upaya melaksanakan
kewenangan kebendaharaan, Menteri Keuangan merupakan pengelola keuangan yang
berfungsi sebagai kasir, pengawas keuangan, dan sekaligus sebagai manager
keuangan.
5. UU No. 15 tahun 2004
UU No. 15 tahun 2004 tentang
pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan Negara. Pemeriksaana keuangan Negara meliputi pemeriksaan
atas pengelolaan keuangan Negara dan pemeriksaan atas tanggung jawab keuangan
Negara. BPK melaksanakan pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab
keuangan Negara. Pemeriksaan yang dilakukan terdiri dari pemeriksaan keuangan,
pemeriksaan kinerja, dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu. Pemeriksaan
keuangan adalah pemeriksaan atas laporan keuangan. Pemeriksaan kinerja adalah
pemeriksaan atas pengelolaan keuangan Negara yang terdiri dari aspek ekonomi
dan efisiensi serta pemeriksaan aspek efektivitas. Sedangkan pemeriksaan dengan
tujuan tertentu adalah pemeriksaan yang tidak termasuk pemeriksaan keuangan dan
pemeriksaan kinerja.
6. PP No. 105 tahun 2000
PP No.105 tahun 2000 menerangkan
bahwa APBD merupakan dasar pengelolaan Keuangan Daerah dalam tahun anggaran
tertentu. APBD, perubahan APBD, dan perhitungan APBD ditetapkan dengan Perda
dan merupakan Dokumen Daerah. Dalam menyusun APBD, penganggaran pengeluaran harus
didukung dengan adanya kepastian tersedianya penerimaan dalam jumlah yang
cukup. Struktur APBD merupakan satu
kesatuan yang terdiri dari pendapatan daerah, belanja daerah dan pembiayaan. Dalam rangka menyiapkan
rancangan APBD, Pemerintah Daerah bersama-sama dengan DPRD menyusun arah dan
kebijakan umum APBD. Berdasarkan
arah dan kebijakan umum APBD, Pemerintah Daerah menyususn strategi dan prioritas APBD. Kepala Daerah menyampaikan
rancangan APBD kepada DPRD untuk mendapatkan persetujuan
7. PP No. 58 tahun 2005
PP No. 58 tahun 2005 tentang
pengelolaan keuangan daerah. Ruang lingkup keuangan daerah meliputi hak daerah
untuk memungut pajak daerah dan retribusi daerah serta melakukan pinjaman;
kewajiban daerah untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan daerah dan membayar
tagihan pihak ketiga; penerimaan daerah; pengeluaran daerah; kekayaan daerah
yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga,
piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk
kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan daerah; kekayaan pihak lain yang
dikuasai oleh pemerintah daerah dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan
daerah dan/atau kepentingan umum.
8. Kepmendagri No. 29 tahun 2002
Kepmendagri No. 29 tahun 2002
tentang pedoman pengurusan, pertanggungjawaban dan pengawasan keuangan daerah
serta tata cara penyusunan anggaran pendapatan dan belanja daerah, pelaksanaan
tata usaha keuangan daerah dan penyusunan perhitungan anggaran pendapatan dan
belanja daerah. Struktur APBD merupakan satu kesatuan yang terdiri pendapatan
daerah, belanja daerah dan pembiayaan. Pendapatan daerah meliputi semua
penerimaan kas yang merupakan hak daerah dalam satu tahun anggaran yang akan
menjadi penerimaan kas daerah. Belanja daerah meliputi semua pengeluaran yang
merupakan kewajiban daerah dalam satu tahun anggaran yang akan menjadi
pengeluaran kas daerah. Pembiayaan
meliputi transaksi keuangan untuk menutup defisit atau untuk memanfaatkan
surplus.
9. Permendagri No. 13 tahun 2006
Permendagri No. 13 tahun 2006 tentang pedoman
pengelolaan keuangan daerah. Pengelolaan
keuangan daerah yang diatur meliputi kekuasaan pengelolaan keuangan daerah, azas umum dan struktur APBD, penyusunan rancangan APBD,
penetapan APBD, penyusunan dan penetapan APBD bagi daerah yang belum memiliki
DPRD, pelaksanaan APBD, perubahan APBD, pengelolaan kas, penatausahaan keuangan
daerah, akuntansi keuangan daerah, pertanggungjawaban pelaksanaan APBD,
pembinaan dan pengawasan pengelolaan keuangan daerah, kerugian daerah, dan
pengelolaan keuangan BLUD.
10. PP No.
38 tahun 2007
PP No. 38 tahun 2007 tentang pembagian urusan
pemerintahan antara pemerintah, pemerintahan daerah provinsi, dan pemerintahan daerah kabupaten/kota. Urusan pemerintahan terdiri
atas urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah dan urusan
pemerintahan yang dibagi bersama antar tingkatan dan/atau susunan pemerintahan.
Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah meliputi politik luar
negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, serta
agama. Urusan pemerintahan yang dibagi bersama antar tingkatan dan/atau susunan
pemerintahan meliputi pendidikan, kesehatan, pekerjaan umum, perumahan,
penataan ruang, perencanaan pembangunan, perhubuingan, lingkungan hidup, dan
lain sebagainya.
G. Reformasi
Pengelolaan Keuangan Negara dari Hulu ke Hilir
1. Reformasi
Bidang Penganggaran
Dalam hal pengelolaan keuangan negera, diawali melalui
proses penganggaran. Anggaran merupakan mangerial plan for action untuk
memfasilitasi tercapainya tujuan organisasi (mardiasmo, 2009). Sistem perencanaan anggaran publik berkembang dan berubah
sesuai dengan kondisi dan tuntutan masyarakat pada waktu itu. Penyusunan
anggaran menggunakan pendekatan sebagai berikut:
a. Pendekatan Tradisional
Penyusunan anggaran ini memiliki ciri utama
penyusunan anggaran berdasar pendekatan incrementalism, yaitu anggaran tahun
tertentu dihitung berdasar jumlah tahun sebelumnya. Ciri kedua yaitu line item,
susunan anggaran berdasar line item, yaitu anggaran disusun berdasarkan sifat
penerimaan dan pengeluaran. Dimana keduanya diharkan berimbang, yaitu antara
pemasukan dan pengeluaran harus seimbang. Penyusunan dengan pendekatan ini
dilakukan pada masa orde baru. Pendekatan tradisional mudah diterapkan, namun
kelemahannya adalah kurang memberikan informasi.
b. Pendekatan New Public Management
Penyusunan
dengan pendekatan ini, lebih memfokuskan penyusunan anggaran pada kinerja. NPM
dibagi menjadi beberapa pendekatan:
1) Anggaran Kinerja
Menekankan
konsep value for money, mengutamakan
mekanisme penentuan dan prioritas
2) Program Budgeting
Pendekatan
ini menekankan pada anggaran harus ditujukan pada tujuan atau output dari
aktivitas dari pada inputnya.
3) Zero Based Budgeting (ZBB)
Mengabaikan
line item dan incrementalism, karena anggaran dianggap nol (zero). Sehingga
penyusunannya berdasarkan kebutuhan saat ini.
4) Planning, Programming, and
Budgeting System (PBBS)
Anggaran
yang pengeluaran secara primer dikelompokkan dalam aktivitas yang didasarkan
pada jenis atau karakter objek dan kinerja.
Di era reformasi sampai dengan kondisi saat ini, sektor
publik di Indonesia menggunakan pendekatan berbasis kinerja dalam penyusunan
anggarannya. Hal ini senada dengan yang dijabarkan dalam PP Nomor 90 tahun 2010
tentang Penyusunan Rencana Kerja Anggaran Kementerian Negara /Lembaga. Dalam PP
yang merupakan revisi atas PP nomor 21 tahun 2004, menjelaskan bahwa dalam
penyusunan RAKL menggunakan pendekatan:
a. Kerangka Pengeluaran Jangka
Menengah
Memberikan kerangka menyeluruh, meningkatkan keterkaitan antara proses perencanaan dan penganggaran, mengembangkan disiplin fiskal, mengarahkan alokasi sumber daya agar lebih rasional dan strategis, dan meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada pemerintah dengan pemberian pelayanan yang optimal dan lebih efisien.
b. Penganggaran Terpadu
Memuat semua kegiatan
instansi pemerintah dalam APBN yang disusun terpadu, termasuk mengintegrasikan
anggaran belanja rutin dan anggaran belanja pembangunan.
c. Penganggaran Berbasis
Kinerja
Pendekatan dengan perspektif
jangka menengah memberikan kerangka yang menyeluruh, meningkatkan keterkaitan
antara proses perencanaan dan penganggaran, mengembangkan disiplin fiskal,
mengarahkan alokasi sumber daya agar lebih rasional dan strategis, dan
meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada pemerintah dengan pemberian
pelayanan yang optimal dan lebih efisien.
2. Reformasi
Bidang Pelaksanaan Anggaran
Menurut
Halim dan Syam Kusufi (2013), tujuan penyusunan anggaran dalah mendukung
terselenggaranya penyediaan pelayanan dasar untuk kesejahteraan masyarakat. Mendukung hal tersebut, maka terdapat standar pelayanan
dasar yag berhak diperoleh masyarakat yang dikenal dengan istilah SPM (Standar
Pelayanan Minimal). Adanya Permendagri Nomor 6 tahun 2007 tentang Petunjuk
Teknis Penyusunan Dan Penetapan Standar Minimal, SPM merupakan
urusan wajib pemerintah dalam memberikan pelayanan yang sangat mendasar yang
berhak diperoleh setiap warga secara minimal sehingga dijamin ketersediaannya
oleh konstitusi, didukung dengan data dan
informasi terbaru dan tidak menghasilkan keuntungan materi.
SPM
disusun untuk tercapainya tujuan berikut:
a. Dapat memberikan definisi yang
jelas tentang pelayanan
b. Memberikan informasi untuk
melakukan perencanaan dalam memberikan pelayanan bagi masyarakat ditingkat lokal.
c.
Dapat
dijadikan sebagai benchmark (patokan) monitoring pelayanan publik.
Ritongga 2010 dalam Halim dan
Syam Kusufi (2013) menyatakan bahwa SPM harus dapat dikur sehingga ditetpakna
terlebih dahulu gambaran dan kondisi awal profil suatu daerah , lalu memberikan
target pelayanan. Target pencapaian SPM ini dituangkan dalam Rencana Kerja.
Anggaran memiliki peran penuh dalam penerapan SPM, sehingga diperlukan adanya
analisis untuk menghitung belanja per kapita dalam menyediakan pelayanan
publik.
Dalam
SPM, selain terdapat indikator terlaksananya suatu kegiatan, terdapat pula
batas waktu pelaksanaan kegiatan tersebut. Secara garis besar berdasarkan pada
Permendagri Nomor 6 tahun 2007 tentang Petunjuk Teknis Penyusunan Dan Penetapan
Standar Minimal, ruang lingkup SPM adalah sebagai berikut:
a. Jenis pelayanan dasar yang
berpedoman pada SPM, dengan kriteria:
1) Merupakan bagian dari pelaksanaan
urusan wajib
2) Merupakan pelayanan yang
sangat mendasar yang berhak diperoleh setiap warga secara minimal sehingga dijamin
ketersediaannya oleh konstitusi, rencana jangka panjang nasional, dan konvensi
internasional yang sudah diratifikasi, tanpa memandang latar belakang
pendapatan, sosial, ekonomi, dan politik warga
3) Didukung dengan data dan informasi terbaru yang Iengkap
secara nasional serta latar belakang pengetahuan dan ketrampilan yang dibutuhkan
dalam penyelenggaraan pelayanan dasar sebagaimana dimaksud pada huruf b, dengan
berbagai implikasinya, termasuk implikasi kelembagaan dan pembiayaannya
4) Terutama yang tidak menghasilkan
keuntungan materi
b. Penentuan indikator
tergantung pada:
1) Tingkat atau besaran
sumberdaya yang digunakan, seperti sarana dan prasarana, dana, dan personil
2) Tahapan yang digunakan,
termasuk upaya pengukurannya, seperti program atau kegiatan yang dilakukan,
mencakup waktu, lokasi, pembiayaan, penetapan, pengelolaan dan keluaran, hasil
dan dampak
3) Wujud pencapaian kinerja,
meliputi pelayanan yang diberikan, persepsi, dan perubahan perilaku masyarakat
4) Tingkat kemanfaatan yang
dirasakan sebagai nilai tambah, termasuk kualitas hidup, kepuasan konsumen atau
masyarakat, dunia usaha, pemerintah dan pemerintahan daerah
5) Keterkaitannya dengan
keberadaan sistem informasi, pelaporan dan evaluasi penyelenggaraan
pemerintahan daerah yang menjamin pencapaian SPM dapat dipantau dan dievaluasi
oleh pemerintah secara berkelanjutan
c. Penetuan nilai SPM
1) Kualitas berdasarkan
standar teknis dari jenis pelayanan dasar yang berpedoman pada SPM dengan
mempertimbangkan standar pelayanan tertinggi yang telah dicapai dalam bidang
pelayanan dasar yang bersangkutan di daerah dan pengalaman empiris tentang cara
penyediaan pelayanan dasar yang bersangkutan yang telah terbukti dapat
menghasilkan mutu pelayanan yang hendak dicapai, serta keterkaitannya dengan
SPM dalam suatu bidang pelayanan yang sama dan dengan SPM dalam bidang
pelayanan yang lain
2) Cakupan jenis pelayanan
dasar yang berpedoman pada SPM secara nasional dengan mempertimbangkan
kemampuan keuangan nasional dan daerah serta kemampuan kelembagaan dan personil
daerah dalam bidang pelayanan dasar yang bersangkutan, variasi kondisi daerah,
termasuk kondisi geografisnya.
d. Batas waktu pencapaian SPM,
dengan mempertimbangkan hal berikut:
1) Status jenis pelayanan
dasar yang bersangkutan pada saat ditetapkan
2) Sasaran dan tingkat
pelayanan dasar yang hendak dicapai
3) Variasi faktor komunikasi,
demografi dan geografi daerah; dan
4) Kemampuan, potensi, serta
prioritas nasional dan daerah
e. Pengorganisasian
Penyelenggaraan SPM
Terkait
tata cara penyusunan dan penetapatn SPM serta pembinaan dan pengawasan
penerapannya.
Hingga saat ini terdapat 15 (limabelas) kementerian
terkait yang telah mengeluarkan acuan SPM untuk diterapkan ke seluruh daerah di
Indonesia. Ketigabelas SPM dimaksud meliputi:
a. Bidang Perumahan Rakyat berdasarkan
Peraturan Menteri Perumahan Rakyat Nomor 22 Tahun 2008 tentang SPM Bidang
Perumahan Rakyat Daerah Provinsi dan daerah Kabupaten/Kota
b. Bidang pemerintahan dalam negeri
berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 62 Tahun 2008 tentang SPM
Bidang Pemerintahan Dalam Negeri di Kabupaten/Kota
c.
Bidang
sosial berdasarkan Peraturan Menteri Sosial Nomor 129 Tahun 2008 tentang SPM
Bidang Sosial Daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota
d. Bidang Kesehatan berdasarkan
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 741 Tahun 2008 tentang SPM Bidang Kesehatan
di Kabupaten/Kota
e. Bidang perempuan dan anak
berdasarkan Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan Nomor 1 Tahun 2009 tentang
SPM Terpadu Bagi Saksi dan/atau Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang dan
Penghapusan Ekploitasi Seksual pada Anak dan Remaja di Kabupaten/Kota, dan
Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 1 Tahun
2010 tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Layanan Terpadu Bagi Perempuan
dan Anak Korban Kekerasan
f.
Bidang
LH berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 19 Tahun 2010 tentang
SPM Lingkungan Hidup Daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota
g. Bidang KB berdasarkan Peraturan
Kepala BKKBN Nomor 55/HK-010/85 Tahun 2010 tentang SPM Bidang Keluarga
Perencana dan Keluarga Sejahtera di Kabupaten/Kota
h. Bidang pendidikan berdasarkan
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 15 Tahun 2010 tentang SPM
Pendidikan Dasar di Kabupaten/Kota
i.
Bidang
Nakertrans berdasarkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor
Per 15/MEN/X/2010 tentang SPM Bidang Ketenagakerjaan
j.
Bidang
PU dan Tata Ruang berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor
14lPRT/M12010 tentang SPM Bidang Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang
k. Bidang Ketahanan Pangan berdasarkan
Peraturan Menteri Pertanian Nomor 65/Permentan/OT.140/12/2010 tentang SPM
Bidang Ketahanan Pangan Provinsi dan Kabupaten/ Kota
l.
Bidang
Kesenian berdasarkan Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor PM.
106/HK. 501/MKP/2010 tentang SPM Bidang Kesenian
m. Bidang Komunikasi dan Informasi berdasarkan
Peraturan Menteri Komunikasi dan lnformatika Nomor 22 Tahun 2010 tentang SPM
Bidang Kominfo di Kabupaten/Kota (Surat Edaran Mendagri Nomor 100/676/SJ
tertanggal 7 Maret 2011)
n. Peraturan Menteri Perhubungan Nomor
: PM.81 Tahun 2011 tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Perhubungan Daerah
Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota
o.
Peraturan
Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 14 Tahun 2011 tentang Standar
Pelayanan Minimal Bidang Penanaman Modal Provinsi dan Kabupaten/Kota.
3. Reformasi
Bidang Perbendaharaan, dan Sistem Penerimaan & Pembayaran
Menurut UU nomor 1 tahun 2004, Perbendaharaan Negara
adalah pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara, termasuk investasi
dan kekayaan yang dipisahkan, yang ditetapkan dalam APBN dan APBD. Undang-undang tentang Perbendaharaan Negara ini
dimaksudkan untuk memberikan landasan hukum di bidang administrasi keuangan
negara. Perbendaharaan Negara ini menganut asas kesatuan, asas universalitas,
asas tahunan, dan asas spesialitas. Asas kesatuan menghendaki agar semua
Pendapatan dan Belanja Negara/Daerah disajikan dalam satu dokumen anggaran.
Asas universalitas mengharuskan agar setiap transaksi keuangan ditampilkan
secara utuh dalam dokumen anggaran. Asas tahunan membatasi masa berlakunya
anggaran untuk suatu tahun tertentu. Asas spesialitas mewajibkan agar kredit
anggaran yang disediakan terinci secara jelas peruntukannya. Demikian pula
Undang-undang Perbendaharaan Negara ini memuat ketentuan yang mendorong
profesionalitas, serta menjamin keterbukaan dan akuntabilitas dalam pelaksanaan
anggaran.
Bendahara umum negara dijabat oleh menteri keuangan. Bendahara Umum Negara untuk melaksanakan tugas kebendaharaan dalam rangka pelaksanaan anggaran
dalam wilayah kerja yang
telah ditetapkan. Selain itu terdapat pemisahan fungsi antara bendahara
penerimaan dan bendahara pengeluaran. Bendahara penerimaan dianggap perlu untuk
melaksanakan tugas kebendaharaan dalam rangka pelaksanaan anggaran pendapatan
pada kantor/satuan kerja di lingkungan kementerian negara/lembaga/satuan kerja
perangkat daerah. Sedangkan bendahara pengeluaran untuk melaksanakan tugas
kebendaharaan dalam rangka pelaksanaan anggaran belanja pada kantor/satuan
kerja di lingkungan kementerian negara/lembaga/satuan kerja perangkat daerah.
4. Reformasi Bidang Pengelolaan Kas, Piutang, Barang Milik
Negara, dan Kewajiban Pemerintah
Pengelolaan kas, piutang, BMN,
dan kewajiban diatur oleh Undang Undang Perbedaharaan Negara. Dalam pengelolaan kas, dipisahkan fungsi antara
rekening penerimaan dan rekenin pengeluaran. Rekening penerimaan digunakan
untuk menampung penerimaan negara setiap hari, dimana saldo rekening penerimaan
setiap akhir hari kerja atau secara berkala disetorkan seluruhnya ke Rekening
Kas Umum Negara pada bank sentral. Sedangkan Rekening Pengeluaran pada bank
umum diisi dengan dana yang bersumber dari Rekening Kas Umum Negara pada bank
sentral, dan disesuaikan dengan rencana pengeluaran untuk membiayai kegiatan
pemerintahan yang telah ditetapkan dalam APBN. Jika memperoleh Bunga dan/atau
jasa giro yang diperoleh Pemerintah merupakan Pendapatan Negara/Daerah.
Terkait dengan pengelolaan piutang, pemerintah pusat dapat memberikan pinjaman atau hibah
kepada Pemda, BUMN, atau BUMD. Dan diharapkan diselesaikan seluruhnya dan tepat
waktu. Selain itu piutang juga dapat dihapuskan secara mutlak atau bersyarat
dari pembukuan.
Dalam pengelolaan Barang milik
negara/daerah yang diperlukan bagi penyelenggaraan tugas pemerintahan, BMN
tidak dapat dipindahtangankan. Namun pemindahtanganan BMN ini dengan cara
dijual, dipertukarkan, dihibahkan, atau disertakan sebagai modal Pemerintah
setelah mendapat persetujuan DPR.
Dalam proses penyelenggaraan
negara, Menteri Keuangan dapat menunjuk
pejabat yang diberi kuasa atas nama Menteri Keuangan untuk mengadakan utang
negara baik dalam maupun luar negeri. Utang ini juga dapat diteruskan ke pemda,
BUMN, atau BUMD. Sementara untuk pelunasannya dibebankan pada Anggaran Belanja
Negara. Hak tagih mengenai utang atas beban negara/daerah kedaluwarsa setelah 5
(lima) tahun sejak utang tersebut jatuh tempo, kecuali ditetapkan lain oleh
undang-undang.
5. Reformasi
Bidang Akuntansi, Pelaporan
a.
Periode
Pertama (1974-1999)
Dalam periode ini tidak ada aturan baku
terkait sistem akuntansi pemerintah. Pedoman yang digunakan dalam
perakuntansian pada waktu itu menggunakan undang-undang warisan Belanda yaitu Indonsische Comptabiliteits Wet (ICW).
Perkembangannya selanjutnya ICW ini diundangkan menjadi beberapa peraturan
perundangan UU nomor 9 tahun 1968, dan UU nomor 6 tahun 1974 untuk pemda.
Sistem pencatatan yang digunakan sangat
sederhana, yaitu sistem pencatatan tunggal berbasis kas, sehingga disebut
sistem akuntansi tradisional, yang terkesan bentuk “pembukuan” bukan kauntansi.
Metode single entry hanya
berupa daftar transaksi yang mempengaruhi akun kas. Artinya penerimaan kas
dicatat sebagai kas masuk, sedangkan pembayaran kas dicatat sebagai kas keluar,
dikarenakan pencatatannya yang hanya dilakukan pada transaksi yang mempengaruhi
kas, dalam sistem single entry membuat general
ledger, balance sheet (neraca), ataupun trial balance.
b.
Periode
Kedua Reformasi Awal (2000-2005)
Pada masa ini ditandai dengan jatuhnya
rezim orde baru, sehingga kondisi politik berpengaruh cukup besar dalam bidang
perakuntansian yang ada. Diawali dengan adanya UU nomor 22 tahun 1999 tentang
pemerintah daerah, dan UU nomor 25 tahun 1999 tentang perimbangan keuangan
pemerintah pusat dan daerah. Perubahan mendasar yang ada pada periode ini
adalah pergesaran dari sistem “pembukuan” di era sebelumnya lebih kearah sistem
akuntansi. Hal in ditandai dengan pergantian metode single entry menjadi double
entry, metode kas bergeser menjadi berbasis kas modifikasian (cash toward accrual). Dalam metode single entry tidak dapat meberikan informasi
yang komperehensif dan mencerminkan kinerja, sehingga dengan adanya double entry laporan keuangan lebih auditable dan traceable.
Basis akuntansi pada dasarnya hanya
terdapat dua, yaitu basis kas dan accrual, sedangkan modifikasian merupakan
transisi pergeseran dari metode kas menuju accrual. Hal ini karena banyaknya tuntutan untuk dapat
menyajikan laporan yang lebih baik lagi terkait transparansi pengelolaan
keuangan. Namun karena kekurangmampuan dalam melaksanakan accrual basis, hingga
saat ini masih menjadi cita-cita, maka metode CTA masih berlaku sampai sekarang
ini.
c.
Periode
Ketiga Reformasi Lanjutan (2005-2010)
Pada tahap ketiga, masih melanjutkan
reformasi pada periode sebelumnya, dengan ditandai munculnya tiga paket UU,
yaitu UU nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU nomor 1 tahun 2004
tentang Perbendaharaan Negara, dan UU nomor 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan
Pengelolaan dan Tanggungjawab Keuangan Negara. Selain undang-undang tersebut,
adanya PP nomor 24 tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintah, menuntut
pencatatan berangsur-angsur menuju akrual. Peraturan pemerintah tersebut juga
menjadi acuan dalam penysusunan laporan keuangan, pemeriksaan laporan keuangan,
dan penggunaan laporan daerah. Lalu adanya PP nomor 58 tahun 2005 untuk
mengatur pengelolaan keuangan daerah, membuat pergeseran sentralisasi menjadi
desentralisasi.
SAP ditetapkan dengan PP Nomor 24 Tahun
2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan terdiri dari 11 Pernyataan Standar
Akuntansi Pemerintahan (PSAP), yaitu :
PSAP 01 : Penyajian Laporan Keuangan
PSAP 02 : Laporan Realisasi Anggaran
PSAP 03 : Laporan Arus Kas
PSAP 04 : Catatan atas Laporan Keuangan
PSAP 05 : Akuntansi Persediaan
PSAP 06 : Akuntansi Investasi
PSAP 07 : Akuntansi Aset Tetap
PSAP 08 : Akuntansi Konstruksi Dalam Pengerjaan
PSAP 09 : Akuntansi Kewajiban
PSAP
10 : Koreksi Kesalahan, Perubahan
Kebijakan Akuntansi, dan Peristiwa Luar Biasa
PSAP 11 : Laporan Keuangan Konsolidasian.
SAP kemudian menjadi pedoman dalam
penyusunan laporan keuangan pemerintah pusat dan daerah, berupa :
1)
Neraca
2) Laporan Realisasi Anggaran
3)
Laporan Arus Kas
4)
Catatan
atas Laporan Keuangan.
penetapan SAP diharapkan dapat menjadi
tonggak lahirnya transparansi, partisipasi dan akuntabilitas pengelolaan
keuangan negara guna mewujudkan pemerintahan yang baik (good governance). Berdasarkan
SAP yang telah disusun, pengakuan pendapatan, belanja, dan pembiayaan
menggunakan basis cash toward accrual. Artinya adalah basis akuntansi yang
digunakan dalam laporan keuangan pemerintah untuk pengakuan pendapatan,
belanja, dan pembiayaan dalam LRA menggunakan cash basis. Sedangkan pengakuan
aset, kewajiban, dan ekuitas dana dalam neraca menggunakan accrual basis.
d.
Periode
Keempat Penerapan SAP Berbasis Akrual (2010-sekarang)
Pada periode ini merupakan lanjutan periode
selanjutnya yang menekankan pengelolaan keuangan daerah. Pada periode ini pula
muncul PP nomor 71 tahun 2010 tentang SAP yang menggantikan PP nomor 24 tahun
2005. Dalam peraturan baru ini, basis yang digunakan bukan lagi cash toward accrual namun accrual basis. Tetapi dalam peraturan
ini ada tenggangwaktu penggunaan yaitu maksimal empat tahun semenjak
diterbitkannya PP tersebut, artinya seharusnya ditahun 2014 basis tersebut
sudah diterapkan. Hal ini bersesuaian dengan pasal 7 paragraf 1 sebagai
berikut:
“Penerapan
SAP Berbasis Akrual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dapat
dilaksanakan secara bertahap dari penerapan SAP Berbasis Kas Menuju Akrual menjadi
penerapan SAP Berbasis Akrual.”
Dalam
peraturan ini PSAP terdiri dari 12 item, yaitu:
PSAP 01 : Penyajian Laporan Keuangan
PSAP 02 : Laporan Realisasi Anggaran
PSAP 03 : Laporan Arus Kas
PSAP 04 : Catatan atas Laporan Keuangan
PSAP 05 : Akuntansi Persediaan
PSAP 06 : Akuntansi Investasi
PSAP 07 : Akuntansi Aset Tetap
PSAP 08 : Akuntansi Konstruksi Dalam Pengerjaan
PSAP 09 : Akuntansi Kewajiban
PSAP
10 : Koreksi Kesalahan, Perubahan
Kebijakan Akuntansi, dan Peristiwa Luar Biasa
PSAP 11 : Laporan Keuangan Konsolidasian
PSAP 12 : Laporan Operasional.
Laporan
keuangan yang dihasilkan menurut pertauran terbaru ini terdiri dari pelaporan
finansia dan pelaporan anggaran. Pelaporan finansial terdiri dari:
1)
Neraca
Neraca
yang disajikan dalam basis kas menuju akrual dan dalam basis akrual sama-sama
disusun menggunakan basis akrual. Neraca menggambarkan posisi keuangan suatu
entitas pelaporan mengenai aset, kewajibang, dan ekuitas pada tanggal tertentu.
2)
Laporan
Operasional
Laporan Operasional merupakan laporan yang
menyajikan ikhtisar sumber daya ekonomi yang menambah ekuitas dan penggunaannya
yang dikelola oleh pemerintah pusat/daerah untuk kegiatan penyelenggaraan
pemerintahan dalam satu periode pelaporan. Laporan Operasional menyediakan informasi
mengenai seluruh kegiatan operasional keuangan entitas pelaporan yang
tercerminkan dalam pendapatan-LO, beban, dan surplus/defisit operasional dari suatu
entitas
pelaporan yang penyajiannya disandingkan dengan periode sebelumnya.
3)
Laporan Arus Kas
Laporan
Arus Kas menyajikan informasi kas sehubungan dengan aktivitas operasi,
investasi, pendanaan, dan transitoris yang menggambarkan saldo awal, penerimaan, pengeluaran, dan saldo akhir kas
pemerintah pusat/daerah selama periode tertentu.`
Laporan
arus kas menyajikan informasi mengenai sumber, penggunaan, perubahan kas dan
setara kas selama satu periode akuntansi, dan saldo kas setara kas pada tanggal
pelaporan. Informasi ini disajikan untuk pertanggungjawaban dan pengambilan
keputusan.
4)
Laporan
perubahan ekuitas
Laporan Perubahan Ekuitas menyajikan
informasi kenaikan atau penurunan ekuitas tahun pelaporan dibandingkan dengan
tahun sebelumnya. Ekuitas adalah kekayaan bersih pemerintah yang merupakan selisih antara
aset dan kewajiban pemerintah pada tanggal laporan.
Sedangkan pelaporan anggaran terdiri dari
1)
Laporan Realisasi
Anggaran
LRA
menyajikan informasi realisasi pendapatan-LRA, belanja, transfer,
surplus/defisit-LRA, dan pembiayaan, yang masing-masing diperbandingkan dengan
anggarannya dalam satu periode.
2)
Laporan Perubahan Saldo
Anggaran Lebih
Laporan Perubahan Saldo Anggaran Lebih
merupakan laporan yang menyajikan informasi mengenai kenaikan atau penurunan Saldo
Anggaran Lebih tahun pelaporan dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Saldo Anggaran
Lebih adalah gunggungan saldo yang berasal dari akumulasi SiLPA/SiKPA
tahun-tahun anggaran sebelumnya dan tahun berjalan serta penyesuaian lain yang
diperkenankan.
Diluar kedua jenis pelaporan ini, ditambah pula dengan Catatan atas Laporan Keuangan
(CALK) yang meliputi
penjelasan naratif atau rincian dari angka yang tertera dalam Laporan Realisasi Anggaran,
Laporan Perubahan SAL, Laporan Operasional, Laporan Perubahan Ekuitas, Neraca,
dan Laporan Arus Kas. Catatan atas Laporan Keuangan juga mencakup informasi
tentang kebijakan akuntansi yang dipergunakan oleh entitas pelaporan dan
informasi lain yang diharuskan dan dianjurkan untuk diungkapkan di dalam
Standar Akuntansi Pemerintahan serta ungkapan-ungkapan yang diperlukan untuk
menghasilkan penyajian laporan keuangan secara wajar.
Selain berbagai laporan pertanggungjawaban
diatas, tidak kalah entingnya saat ini adalah Laporan Akuntabilitas Instansi
Pemerintah (LAKIP). LAKIP merupakan
salah satu bentik akuntabilitas yang disyaratkan oleh Good Governance. Hal ini bersesuaian dengan pendapat Sudai dan
Fernande (2001) bahwa berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2000
disebutkan bahwa dalam paradigma kepemerintahan yang baik (good governance) terdapat
prinsip-prinsip profesionalitas, akuntabilitas, transparansi, pelayanan prima,
demokrasi, efisiensi, efektivitas, dan supremasi hukum.
6. Reformasi
Bidang
Pemeriksaan
Berdasarkan
pada Undang-Undang nomor 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggungjawab Keuangan
Negara, yang dimaksud pemeriksaan adalah proses identifikasi masalah, analisis, dan evaluasi yang dilakukan secara independen, obyektif, dan
profesional berdasarkan standar pemeriksaan, untuk menilai kebenaran,
kecermatan, kredibilitas, dan keandalan informasi mengenai pengelolaan dan
tanggung jawab keuangan negara.dimana proses pemeriksaan ini dilakukan oleh BPK
selaku auditor eksternal pemerintah.
Menurtu
Bastian 2003 dalam Halim dan Syam Kusufi (2013:370), secara umum adatiga jenis
audit dalam audit sektor publik, yaitu audit keuangan (financial audit), audit kinerja (performance audit), dan audit investigasi (investigation audit), degan penjelasan sebagai beikut :
a. Audit keungan adalah audit yang
mejamin bahwa sistem akuntasi dan pengendalian keuangan berjalan secara efisien
dan tepat serta transaksi keuangan diotorisasi serta dicatat secara benar.
b. Audit kinerja adalah pemeriksaan
atas pengelolaan keuangan negara yang terdiri atas audit atas aspek ekonomi,
efisiensi, dan efektivitas.
c.
Audit
investigasi adalah kegiata pemeriksaan dengan lingkup tertentu, periodenya
tidak dibatasi, lebih spesifik pada area pertanggugjawaban yang diduga
mengandung inefisiensi atau indikasi penyalahgunaan wewenang dengan hasil audit
berupa rekomendasi utuk ditindaklanjuti tergantung pada derajat peyimpangan
wewenang yang ditemukan.
H. Keterkaitan
dengan Keuangan Daerah
Reformasi pengelolaan keuangan daerah ditandai dengan
pelaksanaan otonomi daerah. Untuk merealisasikannya, pemerintah pusat
mengeluarkan dua peraturan, yaitu Undang-Undang (UU) Nomor 22 tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 25 Tahun 1999 Tentang Perimbangan
Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 berisi mengenai
perlunya dilaksanakan otonomi daerah. Otonomi daerah adalah wewenang yang
dimiliki daerah otonom untuk mengatur dan mengurus masyarakatnya menurut
kehendak sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat, sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Pertimbangan yang mendasari perlunya
diselenggarakan otonomi daerah adalah perkembangan kondisi di dalam dan luar
negeri. Kondisi di dalam negeri mengindikasikan bahwa rakyat menghendaki
keterbukaan dan kemandirian (desentralisasi). Di lain pihak, keadaan di luar
negeri menunjukkan semakin maraknya globalisasi yang menuntut daya saing tiap
Negara, termasuk daya saing pemerintah daerah (pemda). Daya saing pemda ini
diharapkan akan tercapai melalui peningkatan kemandirian pemda yang diharapkan
dapat diraih melalui otonomi daerah.
Setelah UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
dan UU No. 25 Tahun 1999 tersebut disahkan, pemerintah juga mengeluarkan
berbagai peraturan pelaksanaan, di antaranya:
1. PP Nomor 104 Tahun 2000 tentang
Dana Perimbangan.
2. PP Nomor 105 Tahun 2000 tentang
Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah.
3. PP Nomor 107 Tahun 2000 tentang
Pinjaman Daerah.
4. PP Nomor 108 Tahun 2000 tentang
Tata Cara Pertanggungjawabab Kepala Daerah.
5. Surat Menteri Dalam Negeri dan
Otonomi Daerah tanggal 17 November 2000 Nomor 903/2735/SJ tentang Pedoman Umum
Penyusunan dan Pelaksanaan APBD tahun anggaran 2001.
6. Kepmendagri Nomor 29 tahun 2002
tentang Pedoman Pengurusan, Pertanggungjawaban, dan Pengawasan Keuangan Daerah,
serta Tata cara Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, Pelaksanaan
Tata Usaha Keuangan Daerah, serta Penyusunan Perhitungan Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah.
7. UU No. 17 Tahun 2003 tentang
Keuangan Negara.
8.
UU
No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.
Di antara peraturan-peraturan tersebut di atas, peraturan
yang mengakibatkan adanya perubahan mendasar dalam pengelolaan keuangan daerah
adala PP No. 105 Tahun 2000 dan Kepmendagri No. 29 tahun 2002. Perubahan
tersebut yaitu adanya tuntutan akan akuntabilitas dan transparansi yang lebih
besar dalam pengelolaan keuangan daerah.
Dalam Permendagri No. 13 tahun 2006 tentang Pedoman
Pengelolaan Keuangan daerah, Keuangan Daerah adalah semua hak dan kewajiban
daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dapat dinilai
dengan uang termasuk didalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan
hak dan kewajiban daerah tersebut. Sedangkan, Pengelolaan Keuangan Daerah
adalah keseluruhan kegiatan yang meliputi perencanaan, pelaksanaan,
penatausahaan, pelaporan, pertanggungjawaban, dan pengawasan keuangan daerah.
Ruang lingkup keuangan daerah meliputi:
1. hak daerah untuk memungut pajak
daerah dan retribusi daerah serta melakukan pinjaman
2. kewajiban daerah untuk menyelenggarakan
urusan pemerintahan daerah dan membayar tagihan pihak ketiga
3. penerimaan daerah
4. pengeluaran daerah
5. kekayaan daerah yang dikelola
sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang,
serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang
dipisahkan pada perusahaan daerah
6. kekayaan pihak lain yang dikuasai
oleh pemerintah daerah dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan daerah
dan/atau kepentingan umum.
Secara umum, terdapat enam hal penting dalam reformasi
pengelolaan keuangan daerah, yaitu:
1. Dari vertical accountability menjadi horizontal
accountability
Sebelum reformasi keuangan daerah,
pertanggungjawaban atas pengelolaan anggaran daerah lebih ditujukan pada
pemerintah yang lebih tinggi. Dengan adanya reformasi, pertanggungjawaban lebih
ditujukan kepada rakyat melalui DPRD.
2. Dari tradisional budget menjadi performance
budget
Proses penyusunan anggaran dengan sistem
tradisional menggunakan pendekatan incremental dan “line item” dengan penekanan
pada pertanggungjawaban setiap input yang dialokasikan. Reformasi keuangan
daerah menuntut penyusunan anggaran menggunakan pendekatan/sistem anggaran
kinerja, dengan penekanan pertanggungjawaban tidak sekadar pada input, tetapi
juga output dan outcome.
3. Dari pengendalian dan audit
keuangan, menjadi pengendalian dan audit keuangan dan kinerja
Pada era prareformasi, pengendalian dan
audit keuangan dan kinerja telah ada, namun tidak berjalan dengan baik.
Penyebab hal ini adalah karena sistem anggaran tidak memasukkan kinerja. Pada
era reformasi, karena sistem penganggaran menggunakan sistem penganggaran
kinerja, maka pelaksanaan pengendalian dan audit keungan dan kinerja akan
menjadi lebih baik.
4. Lebih menerapkan konsep value for money
Penerapan konsep value for money lebih dikenal dengan konsep 3E (Ekonomis, Efisien,
dan Efektif). Artinya, dalam mencari maupun menggunakan dana, pemerintah daerah
dituntut delalu menerapkan prinsip 3E tersebut. Hal ini mendorong pemerintah
daerah untuk selalu memperhatikan tiap sen/rupiah dana (uang) yang diperoleh
dan digunakan.
5. Penerapan konsep pusat
pertanggungjawaban
Penerapan pusat pertanggungjawaban dilakukan, salah satunya
melalui dinas pendapatan sebagai pusat pendapatan (revenue center), bagian keuangan sebagai pusat biaya (expense center), dan BUMD sebagai pusat
laba (profit center).
Pusat pendapatan adalah unit dalam suatu
organisasi yang prestasinya diukur dari kemampuannya dalam menghasilkan
pendapatan. Pusat biaya adalah unit dalam suatu organisasi yang prestasinya
diukur dari kemampuannya mengefisienkan pengeluaran. Pusat laba adalah unit
dalam suatu organisasi yang prestasinya diukur dari perbandingan antara laba
yang dihasilkan dengan investasi yang ditanamkan dalam unit organisasi
tersebut.
6. Perubahan sistem akuntansi keuangan
pemerintahan
Reformasi sistem akuntansi keuangan
pemerintah daerah merupakan jantung dari reformasi keuangan daerah karena
sistem inilah yang akan menghasilkan output yang sesuai dengan PP No. 105 tahun
2000. Sistem akuntansi keuangan pemerintahan selama ini berjalan menggunakan
sistem pencatatan tunggal (single entry
system) dengan basis pencatatan atas dasar kas (cash basis). Di era reformasi keuangan daerah, sistem pencatatan
yang digunakan adalah sistem ganda (double
entry system) dengan basis pencatatan atas dasar kas modifikasian (modified cash basis) yang mengarah pada
basis akrual. Basis kas modifikasian diatur dalam Kepmendagri No.29 Tahun 2002,
sedang basis akrual diatur dalam UU No. 1 Tahun 2004.
Tabel 1 Garis besar Perbedaan Sistem Pengelolaan Keuangan Daerah
Lingkup
Perubahan |
Pra
Reformasi |
Reformasi |
Cakupan APBD |
Belanja Desentralisasi, Dekonsentrasi & Tugas Pembantuan |
Hanya Belanja Desentralisasi |
Asas |
Berimbang dan dinamis |
Surplus/defisit |
Pendekatan
Penyusunan |
1. Line-Item
Budget 2. Incremental 3. Orientasi
pada Input 4. Fragmented |
1. Performance
Budget 2. Standar
Pelayanan 3. Orientasi Output-Outcome 4. Integrated |
Susunan/struktur
APBD |
1. Pendapatan 2. Belanja
Rutin 3. Belanja
Pembangunan |
1. Pendapatan 2. Belanja
(Aparatur vs Publik) 3. Biaya.Administrasi
Umum 4. Biaya
Operasi&Pemeliharaan 5. Biaya
Modal/Pembangunan Pembiayaan |
Perlakuan
Pinjaman |
Sebagai
Pendapatan |
Sebagai
Jenis Pembiayaan |
Hub.
Keuangan Pusat dan Daerah |
1. Bagi
hasil 2. Sumbangan/Subsidi 3. Bantuan/Ganjaran |
1. Bagi
hasil 2. Dana
Alokasi Umum 3. Dana
Alokasi Khusus |
Pertimbangan
Penyusunan |
Tanpa Arah
dan Kebijakan Umum serta Strategi dan Prioritas APBD |
Dengan
Arah dan Kebijakan Umum serta
Strategi dan Prioritas APBD |
Penggunaan
Anggaran Belanja |
Tidak
Dipisahkan antara Belanja Aparatur & Publik |
Pemisahan
Belanja Aparatur & Publik |
Pengesahan |
Gubernur
(untukDati II) Mendagri
(untuk Dati I) |
Tanpa
Pengesahan Pemerintah Atasan |
Nota
Keuangan |
Hanya
sebagai Pengantar RAPBD |
Sebagai
Dokumen Kebijakan dan Perencanaan
APBD |
Sumber : Halim, Abdul.2008. Akuntansi
Keuangan Daerah. Jakarta: Salemba Empat.